JAKARTA – targetjurnalis.id
PT Freeport Indonesia (PTFI) dan perusahaan lain yang mendapatkan relaksasi ekspor mineral mentah diharuskan menyetor denda administratif keterlambatan pembangunan smelter mineral logam sampai batas akhir waktu 16 Juli 2023 sesuai dengan Kepmen ESDM Nomor 89 Tahun 2023.
Ketua Umum Asosisasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batubara Indonesia (Aspebindo) Anggawira menegaskan kepada PTFI dan perusahaan lainnya untuk segera membayarkan sanksi yang telah ditetapkan oleh pemerintah atas keterlambatan tersebut.
“Harapannya dari kami memenuhi komitmennya untuk membayar, bukan denda juga karena sebenarnya dari nilai ekspor dapat penghasilan juga, jadi ya cuman pengembalian saja ke negara,” kata Anggawira, Selasa (27/06/2023).
Dalam Pasal 170A Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sudah memberlakukan larangan penjualan ke luar negeri dalam jangka waktu paling lama tiga tahun sejak UU tersebut berlaku pada 10 Juni 2020.
“Tentunya pemerintah sudah memberikan kelonggaran agar Freeport dapat kembali melakukan ekspor mineral mentah, walaupun bertentangan dengan UU. Pemerintah juga sudah melihat ada itikad baik dari progres pembangunan yang sudah ada,” katanya.
Angga juga meminta PTFI untuk dapat mempercepat pembangunan smelter tembaga single line terbesar di dunia itu untuk bisa menyelesaikannya pada awal tahun 2024, sehingga dapat beroperasi penuh di pertengahan 2024.
“Dari target yang sudah diberikan tahun depan, saya harap bisa akselerasi karena belum tentu kalau sudah jalan perlu waktu commissioning dan test lagi. Walau sudah 100 persen juga mungkin belum sesuai dengan kapasitasnya, ini perlu di akselerasi kalau bisa awal tahun bisa commissioning dan pertengahan udah bisa full kapasitas jangan sampai ada alasan dan melakukan ekspor lagi,” jelas Angga.
Lima perusahaan yang terdiri dari PT Freeport Indonesia (PTFI) (tembaga), PT Amman Mineral Nusa Tenggara (tembaga), PT Sebuku Iron Lateritic Ores (besi), dan dua smelter milik PT Kapuas Prima Coal, yakni PT Kapuas Prima Cita (timbal) dan PT Kobar Lamandau Mineral (seng).
Pengenaan denda administratif atas keterlambatan fasilitas pemurnian sebesar 20 dari nilai kumulatif penjualan ke luar negeri untuk setiap periode keterlambatan dengan mempertimbangkan dampak pandemi Covid-19.
Sebelumnya, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan, saat ini sudah ada formula untuk pengenaan denda bagi perusahaan yang mendapatkan relaksasi ekspor, dan menunggu perusahaan untuk menyetorkannya.
“Kan musti disetor sanksinya, ada formulanya kemudian nanti kita akan sampaikan,” kata Arifin di Kementerian ESDM, Jumat, 23 Juni 2023 kemarin.
Mengacu pada Kepmen ESDM Nomor 89 Tahun 2023, periode pendanaan denda administratif keterlambatan pembangunan smelter dimulai dari Oktober 2019 sampai Juni 2023 sama dengan tiga tahun delapan bulan.
“Ada juga faktor konsiderasi covid misalnya kan,” katanya.
Denda administratif memperhitungkan kegiatan terdampak pandemi Covid-19 berdasarkan laporan Verifikator Independen dengan rumusan sebagai berikut:
Denda =((90% -A-B)/90%) x 20& x C
A = persentase capaian kumulatif kemajuan fisik sesuai verifikasi
B = total bobot yang terdampak Covid 19 sesuai hasil verifikasi
C = nilai kumulatif penjualan ke luar negeri selama periode pembangunan
Selain Denda keterlambatan, perusahaan juga diwajibkan memberikan jaminan kesungguhan 5 persen dari total penjualan priode 16 Oktober 2019 sampai 11 Januari 2022 dalam bentuk rekening bersama, apabila pada 10 Juni 2024 perusahaan tidak mencapai target 90 persen, maka jaminan tersebut disetorkan ke kas negara.
Setelah mendapatkan relaksasi ekspor, perusahaan juga dikenakan denda selama periode perpanjangan yang saat ini sedang diatur oleh Kementerian Keuangan.
PRES NYA ( MAN )
KABiRO