Target jurnalis.id, lampung
Kurang dari 10 hari lagi menuju tanggal 14 Februari 2024 Rakyat Indonesia akan mengadakan pesta demokrasi perhelatan politik berupa Pemilihan Umum (Pemilu) nasional untuk pemilihan presiden, DPR, DPD dan DPRD. Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, kegiatan Pemilu memiliki peran penting dalam memantapkan stabilitas politik nasional untuk meningkatkan perekonomian dan taraf hidup masyarakat.
Salah satu instrumen negara yang demokratis adalah pelaksanaan Pemilu. Tidak hanya sebagai sarana perwujudan demokrasi, Pemilu juga merupakan sarana memperjuangkan kepentingan politik dalam bentuk proses seleksi terhadap pengisian jabatan wakil rakyat dan pemimpin eksekutif.
Pemilu dianggap paling efektif dalam memecahkan masalah peralihan kekuasaan karena proses peralihan kekuasaan dijamin lebih aman dan efektif dalam mengurangi tingkat kekacauan. Proses dan mekanisme serta kualitas penyelenggaraan pemilu seharusnya bersifat langsung, umum, bebas, dan rahasia (luber) serta jujur dan adil (jurdil).
Untuk menjamin Pemilu yang free and fair dalam negara demokrasi diperlukan perlindungan bagi semua pihak. Pemilu sebagai salah satu sarana rakyat menggunakan hak konstitusionalnya harus terjamin dari segala ketakutan, intimidasi, penyuapan, penipuan, dan berbagai praktik curang lainnya yang akan memengaruhi kemurnian hasil pemilihan umum.
Salah satu persoalan mendasar yang berulang terjadi dalam setiap pelaksanaan Pemilu adalah integritas penyelenggara Pemilu. Jimly Asshiddiqie menyebutkan bahwa di era modern ini dunia mengalami kegoncangan nilai dan norma. Krisis moral dan etika kehidupan berbangsa terutama krisis nilai pada aspek politik begitu terasa, dalam suasana globalisasi kita gamang menghadapinya (Asshiddiqie, 2013)
Pada pelaksanaan Pemilu, banyak pihak yang berkepentingan termasuk peserta pemilu untuk main mata “merayu dan memikat” penyelenggara Pemilu baik di jajaran KPU, Bawaslu, dan badan ad hoc, mulai dari PPK, PPS, Panwascam, dan Panwaslu desa/ kelurahan. Disitulah integritas penyelenggara pemilu benar-benar diuji dan menjadi taruhan. Penyelenggara pemilu adalah manusia biasa, selalu ada sisi baik dan sekaligus potensi jahat. Tinggal bagaimana para penyelenggara pemilu dapat mengedepankan sifat-sifat baiknya.
Penyelenggara pemilu yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dituntut selalu menjaga integritas dan profesional dalam menjalankan amanat konstitusi. Integritas yang dipegang teguh oleh para penyelenggara Pemilu, menjadi salah satu penentu tegaknya marwah demokrasi dapat berjalan dengan baik. Masyarakat sesungguhnya menaruh harapan dan cita-cita pada penyelenggara pemilu untuk melaksanakan Pemilu yang jujur, adil dan bermartabat.
Penyelenggara Pemilu yang berintegritas berarti mengandung unsur penyelenggara yang jujur, transparan, akuntabel, cermat dan akurat dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Integritas penyelenggara menjadi penting, karena menjadi salah satu tolak ukur terciptanya Pemilu yang demokratis. Integritas merupakan persoalan individu yang sangat personal, hingga saat ini belum ditemukan alat atau cara yang paling efektif serta akurat dalam mengukur ketepatan hingga 100% (seratus persen) mengenai integritas seseorang.
Integritas memiliki hubungan erat dengan etika. Secara filosofis, fondasi integritas yang kuat adalah standar etik yang tinggi. Dalam Encyclopedi Britanica, etika adalah cabang dari filsafat yang membicarakan tentang baik dan buruk. Etika disebut juga sebagai filsafat moral, yaitu studi yang sistematik mengenai hal baik dan buruk.
Pemilu dalam prespektif politics ethics sejatinya dipahami sebagai sarana di mana terjadinya transformasi etika terapan yang bersifat etis dan actual yang secara langsung berimplikasi pada perbaikan moralitas berbangsa (Kasim 2015). Proses penyelenggaraan Pemilu harus mampu mempertalikan antara etika teoritis dan etika terapan. Meskipun etika terapan memang tidak selalu dapat mengatasi masalah-masalah moral, tetapi paling tidak dengan etika terapan dapat membantu dalam pengambilan keputusan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
Sebagai standar moral, etik merupakan pegangan penyelenggara Pemilu dalam melaksanakan tugas ke-Pemiluan. Sering kali, standar etik seorang penyelenggara Pemilu terganggu karena memiliki hubungan kekeluargaan atau hubungan emosional lainnya dengan peserta Pemilu. Tidak dipungkiri bahwa dari banyak kasus di lapangan terutama di daerah, banyak ditemukan kasus adanya penyimpangan karena baik KPPS maupun PPK memiliki hubungan kekeluargaan dengan peserta Pemilu. Ini juga sebagai sebuah konsekuensi sebagai negara yang berbasiskan kekeluargaan dengan fondasi filsafat integralistik dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Oleh sebab itu khusus kepada KPU, harus benar-benar objektif dan professional dalam rekapitulasi suara. Misalnya, jangan sampai caleg tertentu yang tidak memiliki saksi pada saat rekapitulasi suaranya menjadi hilang. Pada situasi pencoblosan nanti yang paling rentan adalah pengalihan suara dari caleg satu ke caleg lainnya pada partai yang sama. Bisa juga suara parpol dialihkan menjadi suara caleg. Ini adalah potensi kecurangan yang bisa saja terjadi untuk meraih kemenangan.
Penyelenggara Pemilu lainnya juga dituntut untuk berintegritas dalam menjalankan mekanisme aturan yang sudah ditetapkan. Terutama aturan norma perilaku penyelenggara Pemilu yang diatur berdasarkan standar norma perilaku penyelenggara pemilu sebagaimana yang dituangkan dalam peraturan bersama KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Nomor 13 tahun 2012, Nomor 11/2012, Nomor 1/2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum.
Dengan peran penting yang dimiliki oleh DKPP dalam melakukan penegak kode etik penyelenggara pemilu dalam menjaga dan mengawal marwah kehormatan pemilu 2024 dengan mengutamakan penegakan hukum dan etika. Penegakan kode etik penyelenggara pemilu adalah bagian substansial dalam mewujudkan kualitas penyelenggara pemilu mengenai pentingnya melaksanakan tugas dan fungsi secara profesional dan independen. (YA)
Perawatan:s yanto