Tegal – jateng, targetjurnalis.id
Kaligayam Margasari Suasana Desa Kaligayam, Kecamatan Margasari, Kabupaten Tegal, mendadak gempar setelah muncul kabar penganiayaan terhadap Kepala Desa Kaligayam oleh suaminya sendiri. Peristiwa yang terjadi belum lama ini itu menyisakan tanda tanya besar di tengah masyarakat, terlebih karena diduga dipicu oleh persoalan pribadi yang menyerempet isu sensitif, yakni dugaan perselingkuhan.
Berdasarkan informasi yang dihimpun dari berbagai sumber, peristiwa bermula ketika suami dari Kepala Desa Kaligayam menyusul sang istri yang kala itu berada di balai desa. Beberapa saat setelah keduanya pulang ke rumah, terdengar keributan dari dalam kediaman pribadi mereka. Tak lama kemudian, sang kepala desa perempuan didapati dalam kondisi luka dan harus dilarikan ke rumah sakit oleh warga yang kebetulan berada di sekitar lokasi.
Keterangan dari beberapa warga menyebut, kejadian tersebut diduga dipicu oleh kecurigaan suami terhadap hubungan tak wajar antara istrinya yang menjabat kepala desa dengan salah satu aparat desa, yaitu sekretaris desa (carik). Meski kebenaran soal dugaan perselingkuhan itu belum dapat dikonfirmasi, isu tersebut telah menjadi buah bibir di lingkungan masyarakat setempat.
Upaya mediasi sempat dilakukan di tingkat internal, yang disaksikan oleh aparat dari Polsek Margasari serta beberapa tokoh masyarakat. Proses mediasi berlangsung kondusif. Suami korban mengakui perbuatannya sebagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan menyatakan tidak ada unsur lain yang melatarbelakangi. Keduanya pun sepakat berdamai.
Kepala Desa Kaligayam akhirnya memberikan tanggapan resmi saat dikonfirmasi. Ia membenarkan telah terjadi insiden rumah tangga, namun menegaskan perkara tersebut sudah diselesaikan secara damai di hadapan Kapolsek, Babinsa, dan sejumlah perwakilan masyarakat.
“Ini sudah selesai. Suami saya sudah klarifikasi di hadapan Kapolsek, Babinsa, dan masyarakat. Tidak ada yang ditutup-tutupi,” ujar Kepala Desa Kaligayam.
Meski demikian, peristiwa ini tetap menuai reaksi keras dari berbagai pihak. Salah satunya datang dari Ms. Ree, pemerhati desa dari LSM Gerhana Indonesia DPD Jawa Tengah, yang mengecam keras tindakan kekerasan terhadap perempuan, apalagi terhadap pejabat publik.
“Ini bukan soal rumah tangga semata. Ketika seorang kepala desa menjadi korban kekerasan fisik hingga harus dirawat di rumah sakit, negara tidak boleh diam. Apapun alasannya, kekerasan terhadap perempuan tidak bisa dibenarkan,” tegas Ree.
Ree menambahkan, perdamaian tidak menghapus tindak pidana. Karena itu, pihaknya memastikan akan melaporkan kejadian ini kepada aparat penegak hukum. Menurutnya, bekas luka yang dialami korban, serta pengakuan pelaku dalam forum mediasi yang disaksikan oleh kepolisian dan masyarakat, sudah dapat dijadikan bukti awal proses hukum.
“Kami siap membawa ini ke jalur hukum. Kekerasan domestik tidak boleh berlindung di balik kata damai, apalagi ketika korbannya adalah pemimpin perempuan yang seharusnya dilindungi dan dihormati. Ini juga soal menjaga martabat pemerintahan desa dari kekerasan dan dugaan pelanggaran etika,” pungkasnya.
Dasar Hukum
Tindak kekerasan dalam rumah tangga dapat dikenai sanksi berdasarkan:
UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), Pasal 5 dan 44 ayat (1):
“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan fisik dalam rumah tangga. Pelaku dapat dikenakan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp15 juta.”
KUHP Pasal 351 ayat (1) dan (2): tentang penganiayaan, jika terbukti luka berat.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 1/PUU-VIII/2010, KDRT adalah delik biasa, artinya bisa diproses hukum tanpa laporan korban, apabila terdapat cukup bukti permulaan.
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada keterangan resmi dari sekretaris desa yang turut disebut dalam isu yang berkembang. Masyarakat berharap agar peristiwa ini ditangani secara profesional dan tidak menjadi preseden buruk dalam tata kelola pemerintahan desa ke depan.
Korwil jateng