Banjarmasin, Targetjurnalis.id –
“Kalau boleh dibilang, saya ini dulu Islam cuma di KTP,”
ucap Yandri, warga binaan Lapas Kelas IIA Banjarmasin, dengan suara pelan namun jujur. Di tengah lantunan ayat suci Al-Qur’an di Blok E pagi itu, kisah hidupnya mencuat sebagai pelajaran penting tentang hijrah dan kesempatan kedua.
Yandri bukan dibesarkan dari keluarga muslim. Ia adalah seorang mualaf, yang mengucap dua kalimat syahadat beberapa puluh tahun lalu, namun mengaku tak pernah benar-benar memahami arti keislamannya.
“Saya tidak bisa ngaji, tidak bisa shalat. Setelah masuk Islam, saya malah sibuk mengejar kesenangan dunia. Nongkrong, mabuk, foya-foya. Saya pikir hidup ya untuk senang-senang,” kisahnya lirih.
Hidup tanpa arah itu akhirnya membawanya pada kesalahan besar yang membuatnya harus menjalani masa hukuman. Namun justru dari balik jeruji inilah, jalan terang itu mulai terbuka.
“Awalnya saya cuma ikut-ikutan kegiatan ngaji. Tapi entah kenapa, hati saya jadi tenang setiap dengar orang baca Al-Qur’an. Dari situlah saya mulai belajar huruf hijaiyah, belajar wudhu, belajar shalat yang benar,” tutur Yandri.
Kini, setiap Senin, Selasa, dan Kamis, Yandri mengikuti pembelajaran Al-Qur’an bersama rekan-rekannya di Blok E. Materi yang disampaikan para pembina, seperti hukum tajwid dan dasar-dasar ilmu fikih, menjadi bekal baru bagi Yandri untuk memperkuat keyakinannya.
“Saya malu sebenarnya, karena dulu saya nggak pernah benar-benar jadi muslim. Tapi di sini saya sadar, saya masih diberi kesempatan sama Allah. Mudah-mudahan saya bisa jadi lebih baik lagi,” ujarnya penuh harap.
Meskipun masih terus belajar, Yandri kini menunjukkan semangat yang tinggi dalam memahami ajaran Islam. Ia mencatat setiap pelajaran dengan rapi dan tak segan bertanya jika belum mengerti. Ia menyadari, perjalanannya masih panjang, namun keyakinannya untuk berubah telah tumbuh kuat dari dalam.
Lapas Kelas IIA Banjarmasin melalui program pembinaan kepribadian berbasis keagamaan memberi ruang seluas-luasnya bagi warga binaan untuk berubah dan tumbuh secara spiritual. Kepala Lapas, Akhmad Heriansyah, menyampaikan bahwa pembinaan dari dalam hati adalah kunci pemasyarakatan yang sesungguhnya.
“Kita tidak sekadar mendidik hukum, tapi juga menyentuh sisi batin mereka. Kami percaya, di dalam setiap diri warga binaan ada potensi untuk berubah, sebagaimana yang ditunjukkan Yandri,” ujarnya.
Kisah Yandri menjadi pengingat bahwa tak ada kata terlambat untuk berubah. Bahwa hijrah sejati tidak selalu terjadi di luar, tapi justru bisa dimulai di balik tembok yang selama ini dianggap batas. Dan Lapas, dalam hal ini, menjadi tempat di mana cahaya iman bisa menyusup perlahan, mengubah arah hidup seseorang.
“Saya ingin nanti, saat bebas, saya bukan cuma bebas secara fisik, tapi juga bebas dari kebodohan saya dulu tentang agama. Saya ingin benar-benar jadi muslim, bukan cuma di KTP,” tutup Yandri dengan senyum yang menguatkan.
(Lapas Banjarmasin)